Gairah Fizha Seorang Tulang Punggung

Nama : Raden Roro Shafira Nur Ramadhani.
Kelas : X IPS 3
     Rintik hujan sore itu berhasil membasahi seluruh tubuhku. Dengan langkah sempoyongan aku memasuki teras rumah, mengetuk pintu dan mendapati suasana yang tidak biasa. Beberapa pertanyaan pun mulai bermunculan di dalam kepalaku. Dan satu menit kemudian barulah aku menyadari apa yang tengah terjadi. Isak tangis mama tertangkap jelas oleh kedua gendang telingaku. Ingin rasanya aku jatuh saat itu juga, tapi tidak!
   “Aku harus memeluk mama, berdiri di samping mama, dan memberinya kekuatan,” pikirku saat itu sembari menguatkan kaki dan berjalan menghampirinya. Ku peluk ia dengan sangat erat, dan saat itu juga untuk pertama kalinya aku melihat bidadariku menangis.
     Kini aku tengah duduk di bangku 3 SMP, tidak seperti anak-anak lain yang sempat-sempatnya melanggar peraturan sekolah hanya demi gaya-gayaan, aku justru sudah dituntut untuk menjadi seorang tulang punggung bagi keluarga. Setelah papa meninggal dalam kobaran api sepuluh tahun yang lalu, aku memutuskan untuk terus menuntut ilmu dan mengambil tanggung jawab baru.
   “Fiz, tolong jualkan kue-kue ini ya, oh iya jangan lupa antarkan adikmu ke sekolah ya, Nak,” ucap mama sembari memasukkan beberapa kue basah ke dalam kotak bening lalu menyodorkannya kepadaku.
   “Siap, Ma, Fizha berangkat dulu ya,” kataku yang segera menerima barang jualan tersebut dari mama dan pamit berangkat.
   “Ayo, Mir!” seruku sambil menggandeng tangan adikku. Namun, ada yang tidak biasa dari Mira pagi ini, atau mungkin hanya perasaaaku saja?
   “Ada apa?” tanyaku setelah memsatikan Mira telah duduk di belakangku.
   “Begini, Kak, kemarin ibu guru memanggilku lagi,” jawabnya pelan.
   “Oh masalah biaya sekolah rupanya, kapan batas ahkir pembayarannya, Mir?” tanyaku lagi.
   “Minggu depan, Kak,” jawabnya semakin pelan.
   “Oalah masih lama ya, ya sudah kamu tenang saja, biar kakak yang urus, ok? Nah, sudah sampai, ayo turun,” pintaku sembari memberhentikan sepeda persis di depan gerbang SD Mira.
   “Benarkah? Bagaimana caranya? Tidak pakai uang jajan Kakak, ‘kan?” tanyanya penuh selidik.
   “Hahaha tidaklah, Mir, yang benar saja kamu, sudah-sudah sana, belajar yang rajin ya, Adikku!” ucapku sembari melambaikan satu tangan ke arahnya.
     Setelah kupastikan ia masuk ke dalam sekolah barulah aku memutuskan untuk beranjak ke SMP ku. Fyuh… aku tidak yakin bisa melunasi biaya sekolah Mira dalam waktu seminggu. Kalau bilang pada mama, pasti hanya akan membuatnya semakin letih, bukan? Bingung rasanya, apalagi sekarang aku sedang padat akan persiapan Ujian Nasional. Ketika tengah memikirkan solusi untuk masalah tersebut, tiba-tiba saja mataku terarah ke arah beberapa anak yang tengah berjualan koran, minuman ringan dan bahkan ada juga yang tengah berjualan rokok.
     Jleb! Ternyata banyak anak-anak di sekitarku yang bernasib jauh lebih buruk dibanding diriku. Aku tersadar, tidak seharusnya  aku mengeluh hanya karena kondisi keluargaku saat ini. Aku memang seorang anak yatim, papaku telah meninggal dalam masa tugasnya sebagai seorang pemadam kebakaran sepuluh tahun yang lalu. Dan, sebelum beliau meninggal kami dapat dikatakan sebagai keluarga yang berkecukupan. Namun setelah beliau meninggal, rumah tangga kami mulai tidak beraturan, mama membuka toko kue basah di depan rumah kami, dan aku ikut membantu mama berjualan kue di sekolah.
     Awalnya, banyak teman yang mengejek sepatuku, tasku, bahkan ada juga yang mengejek ku karena berjualan kue di sekolah. Begitu juga dengan Mira. Tetapi lama kelamaan mereka semua menjadi sahabatku dan Mira. Jujur, aku tidak pernah meladeni mereka yang mencemoohku, bukan karena tidak jago mencemooh balik. Hanya saja tenagaku sudah habis untuk membantu mama di rumah, berjualan kue di sekolah, belajar, dan mengantar jemput Mira.
     Itu baru aku dan Mira, bagaimana dengan mereka? Apa mereka pernah mengeluh? Atau bahkan sudah lupa bagaimana rasanya memiliki ayah, ibu, belajar dan bersenang-senang bersama teman-teman di sekolah? Oke, aku harus  semangat, kuat, dan belajar dengan giat untuk bisa membantu mama, Mira, dan mereka semua, teman-teman kecilku yang juga berhak mendapatkan pendidikan dan kasih sayang.
                                          •••
   “Aku rasa kamu cocok menjadi guru private Matematika, Fiz,” saran Maji, sahabatku, setelah mendengar masalahku.
   “Wah benar juga kamu, Ji! Tapi, siapa yang akan ku ajar?” tanyaku bingung sembari menatapi anak-anak di kelasku.
   “Banyak, Fiz, adik kelas juga bisa, tenang akan kubantu! Kamu lupa aku siapa?” jawab Maji cepat sembari terkekeh dengan mimik khasnya.
   “Hahaha iya-iya, kamu ‘kan jaringannya luas, makasih ya, Ji, nanti kamu kabari saja padaku siapa saja yang ingin ikut,” ucapku sembari tertawa lega.
     Dan benar saja, sejak hari itu menjadi guru private menjadi pekerjaan baruku. Bahkan sebelum deadline pembayaran aku telah bisa melunasi biaya sekolah Mira. Uang yang kudapat dari menjadi guru private cukup banyak, dengan uang tersebut aku bisa membayar biaya sekolah, dan biaya rumah tangga.
     Waktu seakan-akan terus berlari, entah sudah berapa bulan yang kulewati. Semua terasa sangat cepat. Tiada hari tanpa kerja keras dan kasih sayang yang kuluapkan kepada keluarga dan teman-temanku. Kini aku telah menjadi seorang guru, sekaligus pemilik sekolah swasta. Sekolah swastaku ini bukan untuk orang-orang yang kaya akan harta, tapi untuk ‘mereka’. Ah, apa kalian masih ingat dengan mereka? Iya benar sekali! Mereka, teman-teman kecilku yang juga berhak mendapatkan pendidikan dan kasih sayang.
     Baiklah, begitulah cerita perjuanganku. Di dalam cerita ini aku hanya ingin membuktikan kepada kalian bahwa semua orang itu bisa melanjutkan perjuangan para pahlawan. Dengan belajar dengan sungguh-sungguh, membantu orang tua dan saudara, serta teman-teman di sekitar kita. Menolong dengan ikhlas seperti yang telah dilakukan oleh para pahlawan dapat dilakukan oleh siapapun kawan.
     Tidak memandang darimanapun dia. Asal ada kemauan yang terus diiringin oleh doa, usaha, dan kasih sayang kita juga bisa menjadi pahlawan bagi bangsa dan negara kita. Merdeka dari kepasrahan, kebodohan, dan kemalasan. Ayo bersama-sama kita menjadi pribadi yang kuat, disiplin, dan penuh kasih sayang. Baik di sekolah, di rumah, ataupun di masyarakat!
     “Mama sangat bangga denganmu, Nak, dan mama yakin pasti papa juga sangat bangga denganmu, Nak!” Ucap mama sembari memelukku dengan sangat erat. Terima kasih Pa, Ma, kalian lah pahlawanku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mendengar Nasihat Biru

SINOPSIS CERPEN FIRA "Biarkan Hati Kecil Mu Yang Bergerak"