Biarkan Hati Kecil Mu Yang Bergerak (1)

   Bagian 1

   Sejak kecil aku sudah memiliki rasa simpati yang sangat besar, namun sayangnya rasa simpati ini belum mampu mendorongku untuk berani menolong orang-orang di sekitarku dengan cepat.
   Oke, mari kita lupakan mengenai fakta tersebut sejenak. Liburan semester kali ini aku dan keluargaku berencana untuk menghabiskan waktu kami di Yogyakarta, tempat yang paling sempurna bagiku. Maka dari itu, pagi-pagi sekali kami sudah siap untuk berdiri disini, di Bandara Soekarno-Hatta.
    Rasa ngantuk kembali menghantuiku yang tengah terduduk diatas bangku bersama kakakku dan ransel kami masing-masing, nun jauh disana dapat kupastikan ayah dan ibu yang sedang melakukan check in.
   "Fiz, kakak ke toilet dulu ya, kamu jangan kemana-mana, sebentar doang kok," kata kak Rizha sembari bangkit dari duduknya.
   "Siap, Kak," ucapku cepat. Setelah kak Rizha menghilang ditengah kerumunuan manusia, aku berniat untuk kembali memejamkan mataku sejenak. Namun tiba-tiba terdengar sebuah suara yang sangat janggal di telingaku. Hm, suara tangisan anak kecil.
   Dengan cepat mataku kembali terbuka dan beralih ke arah sumber suara tadi. Oh! Itu dia, sebentar, siapa dia? Entahlah aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi tiba-tiba saja kakiku reflek berjalan ke arah dirinya.
   "Permisii adik, adik kenapa menangis?" Tanyaku lembut.
   Melainkan menjawab pertanyaanku tangisnya justru semakin kencang. Waduh bagaimana ini, kok jadi makin parah sih?
   "Adik, ayah dan ibu kamu dimana? Sini biar kakak bantu cari," ucapku lagi, dan kali ini aku memutuskan untuk menjongkokkan diriku agar dapat melihat mukanya dengan lebih jelas.
    "Ah, ini tidak mungkin! Apakah aku salah liat?! Fyuh... Tenang Fizha, siapapun dia kamu harus tetap menolongnya," itulah pikiran yang terlintas di dalam otakku ketika melihat wajah adik tersebut lebih dekat.
   Sambil menunggu jawaban darinya, aku memutuskan untuk memberikan beberapa lembar tissue kepadanya. Ia mengambil beberapa lembaran tissue dariku dan segera mengelap wajahnya dengan cepat. Setelah kupikir dia sudah mulai tenang, aku mencoba untuk berbicara dengannya kembali.
   "Kalau kakak boleh tahu, darimana asal mu, Dik?" Tanyaku.
   "Pu-pulau Kapur," jawabnya pelan dan terbata-bata. Yeah, akhirnya pertanyaanku dijawab!! But, wait! Dimana tempat itu?
    "Oalahh iyaya pantas saja hehe, pasti sangat jauh dari sini ya, lalu dimana orang tua mu, Dik?" Tanyaku lagi.
   "D-dekat, ta-tapi papa dan mama tidak bisa kesini, mereka disana, dan- hiks," ucapannya terhenti dan ia kembali menangis.
    "Apakahh terjadi sesuatu pada mereka?" Tanyaku sembari menepuk-nepuk pundaknya.
     "Apa kakak bersedia untuk membantu 'kami'?" Tanyanya sembari melebarkan mata.
     "Ah-ya! Mungkin hehe, aku tidak begitu yakin sih, tapi akan aku usahakan!" Jawabku ragu-ragu, ya seperti yang telah kukatakan sebelumnya, inilah kekuranganku.
     "Pulau kami tengah mengalami kekeringan yang sangat ganas, hal ini disebabkan karena selama puluhan tahun belakangan ini kami tidak ada yang ingin bekerjasama untuk membangun daerah hijau. Kami semua sibuk mengurus urusan masing-masing, hingga puncaknya ketika musim kemarau tahun ini tiba, kami telah lupa cara membuat daerah hijau," Jelasnya panjang lebar.
     "Menanam pohon ya, oke! Aku akan membantumu tapi bagaimana caranya?" Tanyaku bingung dan saat itu pula aku teringat dengan acara keluargaku sendiri, lekas aku segera mengecek jarum jam yang terdapat di tanganku. Wah! Apa lagi ini? Kenapa jam ku tidak bergerak? Mati? Bukan! Semua jam di sini juga tidak bergerak.
     "Waktu telah berhenti kak, pakailah ini dan bayangkanlah Pulau Kapur," katanya dengan cepat ketika menyadari keherannaku. Aku mengerti, dan segera mengikuti permintaanya.
   Dan ZLEBB!!! Dimana ini?!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mendengar Nasihat Biru

Gairah Fizha Seorang Tulang Punggung

SINOPSIS CERPEN FIRA "Biarkan Hati Kecil Mu Yang Bergerak"